Foto : Budaya Gotong Royong (Persda network ) |
‘ RUNTUT RAUT SAUYUNAN ‘ merupakan Ajaran Karuhun (leluhur) yang Artinya
: Hidup Rukun Bersama, yang di implementasikan dalam kehidupan
sehari-hari masyarakat sunda(Gotong Royong ).
Kebersamaan hidup dirumuskan dalam satata sariksa (satu aturan bersama-sama memelihara).
Kebersamaan hidup dirumuskan dalam satata sariksa (satu aturan bersama-sama memelihara).
Sikap yang ada di masyarakat bukanlah “saling
bersaing”, tetapi justru sebaliknya, terutama dalam budaya desa, yaitu
gotong royong, kerja sama atau saling membantu, saling mendukung, dan
kalau bisa guyub (Rukun dan Damai .red ) untuk kebaikan bersama dalam konteks hidup
bermasyarakat.
Silih asah, Silih asuh, Silih asih Seperti terdapat dalam ajaran silih asah, silih asuh,
silih asih. Siliwangi sendiri konon berasal dari kata silih wangi ( Silih = Saling ) dan ( Wangi = Harum ) yang
artinya saling mengharumkan nama, dalam pengertian saling mendorong dan
mendukung mencapai prestasi.
Sementara Siger Tengah (meletakkan mahkota di tengah kepala) menunjukkan sikap untuk hidup moderat. Harus seperti apa orang Sunda hidup, terdapat dalam pepatah hirup kudu masagi (hidup harus seperti bentuk bujur sangkar). Maksudnya hidup harus dijalani dalam kualitas yang sama di semua sisi, tidak hanya menguasai ilmu pengetahuan, tetapi juga etika dan keluhuran budi, mencari kehidupan yang lebih baik, tetapi juga dibarengi ibadah. Tidak hanya menjalin hubungan dengan Tuhan, tetapi juga dengan sesama manusia. Berusaha mencari bekal hidup di dunia dan sekaligus di akhirat nanti. Elmu tungtut dunya siar (ilmu dipelajari, kekayaan juga cari).
Bagaimana sebaiknya memecahkan masalah, ada caina herang laukna beunang (airnya jernih ikannya dapat). Uraikan dahulu permasalahan satu per satu sehingga semua kerumitan terurai dan menjadi jernih. Dalam kondisi jernih seperti itu termasuk pikiran penyelesaian setiap masalah dapat ditemukan. Dan Selalu berani menghadapi risiko terburuk apapun.
falsafah “herang caina, beunang laukna”, memberikan nuansa penyelesaian
suatu masalah dg pendekatan yg bersih, setidaknya bisa menjadi sebuah
secercah sinar dalam kegelapan dunia politik negeri kita.
Sebuah dunia dimana pemilihan pemimpin baru ( pemilu-pilkada), telah
menjadi bagaikan ajang “memancing di air keruh”. Dimana seorang calon
yang didukung suatu kelompok politik, melakukan investasi yg besar
(memancing) agar bisa dapat jabatan politik tsb, dengan harapan, saat ia
memegang jabatan politik tersebut kelak, ia bisa mengambil hasil
“investasi politik” nya tersebut. Hampir mirip dengan logika orang yang
memancing dengan menaburkan umpan yg besar, dg harapan akan dapat hasil
tangkapan ( pengembalian investasi) yg besar pula saat ia memegang
jabatan politik tsb. Namun sebenarnya ia telah membuat kolam tersebut
keruh , sebagaimana pepatah, memancing di air keruh. Keruh dalam arti,
menimbulkan kerugian yang besar bagi masyarakat banyak ( misal korupsi,
kroni, nepotisme).
Tong kurung batokeun ( janganlah seperti katak dalam tempurung ) ,
adalah pepatah sunda lain nya, yg menjelaskan bahwa untuk menjadi
seorang pemimpin yg baik, selain memiliki pikiran yg cerdas, juga perlu
memiliki cakrawala berpikir yg luas.
(dikutip : dari beberapa sumber )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar