Ojo Gumunan, Ojo Kagetan, lan Ojo Dumeh
Pandangan sekaligus panduan masyarakat Jawa dalam menjalani kehidupan yang mudah diucapkan namun sulit melaksanakannya.
Kita pada umumnya cenderung memiliki ego, harga diri, emosi, dan rasa ingin tahu yang tinggi yang menyulitkan kita untuk menerapkan nilai filosofi tersebut.
Di balik setiap budaya di Indonesia pasti terkandung nilai-nilai kebijaksanaan lokal, termasuk di antaranya budaya Jawa. Budaya Jawa yang sebagai salah satu budaya yang tertua di tanah air ini, juga mempunyai berbagai pepatah dan idiom yang berasal dari warisan ratusan bahkan ribuan tahun yang lalu. Salah satunya yang paling tepat dengan kondisi sekarang ini adalah ungkapan “kuno” dari khasanah budaya Jawa, ojo gumunan, ojo kagetan, lan ojo dumeh.
Ojo gumunan, berasal dari kata ojo yang artinya jangan, dan gumunan, yang berasal dari kata gumun yang artinya heran.
Ojo gumunan adalah bentuk larangan untuk tidak mudah kagum atau heran dengan perkembangan keadaan dan peristiwa atau benda yang terutama bersifat materi dan keduniawian.
Masyarakat kita sekarang ini mudah sekali untuk gumun atau kagum terutama dengan berbagai bentuk pemberitaan atau tayangan melalui media massa.
Kita juga gumun melihat kecanggihan teknologi negara lain, bahkan kemajuan ekonomi negara tetangga kita, Malaysia dan Singapura. Bentuk kegumunan dan kekaguman ini sayangnya hanya sebatas gumun.
Sebagian besar dari kita hanya menjadi penonton, berdiri di pinggir, bertepuk tangan, kadang misuh (memaki) dan mengumpat, tanpa pernah bisa ikut menentukan hasil akhir.
Filsafat Jawa ojo gumunan, bermakna janganlah kita selalu terkagum-kagum dengan hasil orang lain sedangkan kita hanya sekedar menjadi penonton. Ojo gumunan juga bermakna kita harus selalu memperbaiki diri dan menyesuaikan diri dengan keaadan dan perubahan keadaan sekitar. Kita harus menjadi subjek dan bukan sekedar objek.
Filosofi ojo kedua adalah ojo kagetan. Makna harfiah dari ojo kagetan ini adalah jangan mudah kaget. Suka terkaget-kaget kah kita? Jawaban sebagian besar dari kita pasti YA!. Akhir-akhir ini banyak sekali peristiwa di negeri nusantara ini yang membuat seluruh penduduknya terkaget-kaget, baik peristiwa yang ditimbulkan oleh perseorangan, badan dan lembaga, juga yang lebih aneh lagi adalah pemerintah juga hobby membuat rakyatnya selalu terkaget-kaget dengan aneka kebijakan yang kemudian ditarik lagi atau tidak jelas implementasinya.
Kita terkaget-kaget tatkala KPK tiba-tiba menangkap jaksa dan penyuapnya, juga terkaget-kaget ketika seorang anggota DPR terlibat dalam transaksi penyuapan bahkan video porno. Kita juga kaget ketika tanpa alasan tarif jalan tol tiba-tiba naik, bahkan harga cabe dan bawang putih juga melambung, dan semua alasannya karena BBM naik.
Filosofi ojo kagetan bermakna kita harus mawas diri terhadap perubahan sekeliling dan lingkungan kita.
Ojo kagetan juga bermakna persiapan diri sendiri menghadapi perubahan sekeliling tanpa ikut berubah seperti sekeliling.
Kalau kita sadar bahwa kita hidup di negeri yang serba ajaib dan aneh seperti Indonesia, maka seharusnya kita juga selalu mawas diri dan bersiap dengan aneka kejutan yang menyertai setiap perubahan. Dengan tidak terkaget-kaget terhadap kejutan-kejutan di sekeliling kita, kita akan lebih tegar dan sumeleh hidup di Indonesia.
Ojo Kagetan merupakan panduan agar kita selalu membabar terlebih dahulu terhadap segala yang terjadi. Analisis terlebih dahulu dari setiap masalah, baru tentukan strategi dan tindakan yang akan diambil untuk menyelesaikan masalah tersebut. Karena jika kita menyelesaikan dengan bersikap reaktif, maka kemungkinan besar keputusan maupun tindakan kita masih mentah dan tidak mampu menyelesaikan inti masalahnya. Tantangan terbesar dari penerapan pandangan hidup ini ialah emosi dan harga diri kita, yang bisa 'sak dheg sak nyet' ketika terjadi sesuatu hal yang sensitif disekeliling kita.
Ojo terakhir adalah ojo dumeh. Dumeh bermakna mentang-mentang atau sombong. Ojo dumeh artinya janganlah kita sombong dalam menghadapi lingkungan disekeliling kita.
Sombongkah kita? Hanya orang lain dan bangsa lain yang bisa menilai bangsa kita ini dumeh atau tidak.
Tapi sadar atau tidak, kesombongan ini sebenarnya juga kita
jumpai dari perilaku kita sehari-hari. Dumeh atau mentang-mentang kita
kaya, dengan seenaknya kita menghambur-hamburkan uang untuk belanja
secara konsumtif di mall-mall mewah. Dumeh bisa membayar, kita
menggunakan listrik dan BBM secara berlebihan dan hanya untuk konsumtif.
Dumeh lebih pandai dari rata-rata rakyat Indonesia, kita melakukan
pembodohan secara terus menerus dengan informasi-informasi yang
membingungkan dan menyesatkan. Dumeh menjadi rakyat kecil, dengan
seenaknya kita hanya bisa mengkritik dan mencaci maki para pimpinan,
meski mereka kadang benar sekali pun.
Ojo dumeh adalah salah satu ajaran dasar leluhur kita untuk selalu melakukan introspeksi diri terhadap lingkungan, sesama manusia, dan juga kepada Sang Pencipta. Dengan tidak dumeh, maka kehidupan sebenarnya akan lebih baik dan lebih tentram. Ojo dumeh merupakan larangan agar kita jangan bersikap sombong, pamer mengenai segala sesuatu yang kita miliki. Seharusnya kita bersikap andap asor mring sapodho, atau bersikap rendah hati terhadap sesama. Segala yang kita miliki baik itu harta, jabatan, pengetahuan, maupun istri, anak, sanak saudara, ini hanyalah sementara, dan titipan dari Yang Maha Kuasa. Kita diamanahkan untuk mengamalkannya agar menjadi milik kita yang hakiki kelak di alam sesudah kita meninggalkan dunia fana ini.
(Sumber dari : Suara Merdeka Cybernews)
Pandangan sekaligus panduan masyarakat Jawa dalam menjalani kehidupan yang mudah diucapkan namun sulit melaksanakannya.
Kita pada umumnya cenderung memiliki ego, harga diri, emosi, dan rasa ingin tahu yang tinggi yang menyulitkan kita untuk menerapkan nilai filosofi tersebut.
Di balik setiap budaya di Indonesia pasti terkandung nilai-nilai kebijaksanaan lokal, termasuk di antaranya budaya Jawa. Budaya Jawa yang sebagai salah satu budaya yang tertua di tanah air ini, juga mempunyai berbagai pepatah dan idiom yang berasal dari warisan ratusan bahkan ribuan tahun yang lalu. Salah satunya yang paling tepat dengan kondisi sekarang ini adalah ungkapan “kuno” dari khasanah budaya Jawa, ojo gumunan, ojo kagetan, lan ojo dumeh.
Ojo gumunan, berasal dari kata ojo yang artinya jangan, dan gumunan, yang berasal dari kata gumun yang artinya heran.
Ojo gumunan adalah bentuk larangan untuk tidak mudah kagum atau heran dengan perkembangan keadaan dan peristiwa atau benda yang terutama bersifat materi dan keduniawian.
Masyarakat kita sekarang ini mudah sekali untuk gumun atau kagum terutama dengan berbagai bentuk pemberitaan atau tayangan melalui media massa.
Kita juga gumun melihat kecanggihan teknologi negara lain, bahkan kemajuan ekonomi negara tetangga kita, Malaysia dan Singapura. Bentuk kegumunan dan kekaguman ini sayangnya hanya sebatas gumun.
Sebagian besar dari kita hanya menjadi penonton, berdiri di pinggir, bertepuk tangan, kadang misuh (memaki) dan mengumpat, tanpa pernah bisa ikut menentukan hasil akhir.
Filsafat Jawa ojo gumunan, bermakna janganlah kita selalu terkagum-kagum dengan hasil orang lain sedangkan kita hanya sekedar menjadi penonton. Ojo gumunan juga bermakna kita harus selalu memperbaiki diri dan menyesuaikan diri dengan keaadan dan perubahan keadaan sekitar. Kita harus menjadi subjek dan bukan sekedar objek.
Filosofi ojo kedua adalah ojo kagetan. Makna harfiah dari ojo kagetan ini adalah jangan mudah kaget. Suka terkaget-kaget kah kita? Jawaban sebagian besar dari kita pasti YA!. Akhir-akhir ini banyak sekali peristiwa di negeri nusantara ini yang membuat seluruh penduduknya terkaget-kaget, baik peristiwa yang ditimbulkan oleh perseorangan, badan dan lembaga, juga yang lebih aneh lagi adalah pemerintah juga hobby membuat rakyatnya selalu terkaget-kaget dengan aneka kebijakan yang kemudian ditarik lagi atau tidak jelas implementasinya.
Kita terkaget-kaget tatkala KPK tiba-tiba menangkap jaksa dan penyuapnya, juga terkaget-kaget ketika seorang anggota DPR terlibat dalam transaksi penyuapan bahkan video porno. Kita juga kaget ketika tanpa alasan tarif jalan tol tiba-tiba naik, bahkan harga cabe dan bawang putih juga melambung, dan semua alasannya karena BBM naik.
Filosofi ojo kagetan bermakna kita harus mawas diri terhadap perubahan sekeliling dan lingkungan kita.
Ojo kagetan juga bermakna persiapan diri sendiri menghadapi perubahan sekeliling tanpa ikut berubah seperti sekeliling.
Kalau kita sadar bahwa kita hidup di negeri yang serba ajaib dan aneh seperti Indonesia, maka seharusnya kita juga selalu mawas diri dan bersiap dengan aneka kejutan yang menyertai setiap perubahan. Dengan tidak terkaget-kaget terhadap kejutan-kejutan di sekeliling kita, kita akan lebih tegar dan sumeleh hidup di Indonesia.
Ojo Kagetan merupakan panduan agar kita selalu membabar terlebih dahulu terhadap segala yang terjadi. Analisis terlebih dahulu dari setiap masalah, baru tentukan strategi dan tindakan yang akan diambil untuk menyelesaikan masalah tersebut. Karena jika kita menyelesaikan dengan bersikap reaktif, maka kemungkinan besar keputusan maupun tindakan kita masih mentah dan tidak mampu menyelesaikan inti masalahnya. Tantangan terbesar dari penerapan pandangan hidup ini ialah emosi dan harga diri kita, yang bisa 'sak dheg sak nyet' ketika terjadi sesuatu hal yang sensitif disekeliling kita.
Ojo terakhir adalah ojo dumeh. Dumeh bermakna mentang-mentang atau sombong. Ojo dumeh artinya janganlah kita sombong dalam menghadapi lingkungan disekeliling kita.
Sombongkah kita? Hanya orang lain dan bangsa lain yang bisa menilai bangsa kita ini dumeh atau tidak.
Foto :Suara Merdeka Cybernews |
Ojo dumeh adalah salah satu ajaran dasar leluhur kita untuk selalu melakukan introspeksi diri terhadap lingkungan, sesama manusia, dan juga kepada Sang Pencipta. Dengan tidak dumeh, maka kehidupan sebenarnya akan lebih baik dan lebih tentram. Ojo dumeh merupakan larangan agar kita jangan bersikap sombong, pamer mengenai segala sesuatu yang kita miliki. Seharusnya kita bersikap andap asor mring sapodho, atau bersikap rendah hati terhadap sesama. Segala yang kita miliki baik itu harta, jabatan, pengetahuan, maupun istri, anak, sanak saudara, ini hanyalah sementara, dan titipan dari Yang Maha Kuasa. Kita diamanahkan untuk mengamalkannya agar menjadi milik kita yang hakiki kelak di alam sesudah kita meninggalkan dunia fana ini.
(Sumber dari : Suara Merdeka Cybernews)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar