SUMITRO DJOJOHADIKUSUMO:
BEGAWAN YANG GEMAR MENGKRITIK
|
Prof.Dr.Sumitro Djojohadikusumo | |
|
Gayanya yang ceplas-ceplos dan blak-blakan menjadi ciri
khas. Sebagai "begawan" ekonomi, Prof. Dr. Sumitro Djojohadikusumo
memang selalu kritis. Setelah menjadi besan Presiden Soeharto pun ia tetap
melancarkan kritik tajam terhadap jalannya roda
pembangunan. Baginya,
perkawinan anak laki-lakinya Letjen Prabowo Subianto dengan Siti Hediyati
(putri Soeharto) pada Mei 1983 hanyalah historical accident.
Salah satu kritiknya yang tajam ialah pernyataannya tentang kebocoran 30%
dana pembangunan yang dilansir di Kongres Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia
(ISEI) ke-12 di Surabaya, November 1993. ISEI sendiri didirikan Sumitro tahun
1955.
Bila Sumitro - yang pada 1985 menjadi anggota seven eminent persons
dengan tugas menyusun rekomendasi kepada GATT (General Agreement on
Tariffs and Trade) - sudah kelewat keras mengkritik, biasanya menantunya
datang kepadanya untuk menyampaikan pesan Presiden Soeharto.
"Ada apa, Tiek?
Ada pesan dari Bapak?" sambut Sumitro.
"Ya, Bapak
bilang, 'Tiek, mertuamu sudah priyayi sepuh kok masih radikal
saja'!" ujar Siti Hediyati alias Titiek Prabowo.
"Ya, saya
memang sudah terlalu tua untuk mengubah diri!" jawab Sumitro enteng.
Masih soal
sinyalemen kebocoran itu, ketika bertemu Sumitro, Soeharto langsung berkata,
"Kok, Pak Mitro suaranya begitu?"
Sumitro menjelaskan,
sejak mahasiswa ia biasa bicara apa adanya, melihat suatu masalah lalu
mencari problemnya kemudian mencari pemecahannya. "Dalam hal ini
problemnya apa? Banyak. Pemborosan. Orang bilang ekonomi biaya tinggi.
Bagaimana ini, lalu saya cari fakta, dan faktanya memang begitu. Kalau Bapak
ingin fakta, tanya pada Biro Pusat Statistik," ucap Sumitro, penerima
Bintang Mahaputra Adipradana II.
Dengan nada agak
sinis Sumitro menambahkan, "Saya tidak punya antena ke angkasa luar,
Pak. Ini hitung-hitungan berdasarkan analisis ilmiah."
"Alhasil, ini
bukan pat gulipat, angka 30% bukan datang dari langit, atau dari
paranormal Permadi!" tegas Sumitro, yang pada 1953 oleh Sekjen PBB
diangkat sebagai anggota lima ahli dunia (group of five top experts).
Presiden memahami
penjelasan itu namun ia menekankan, "Tapi, mbok ya jangan
disiarkan, Pak Mitro."
Ketika krisis ekonomi
semakin memukul Indonesia, akhir 1997, Sumitro kembali membuat pernyataan
tajam. Dalam tubuh ekonomi nasional melekat berbagai macam penyakit, seperti
distorsi dalam bentuk monopoli, oligopoli, kartel, proteksi yang berlebihan,
dan subsidi untuk barang-barang tertentu.
Sumitro melukiskan,
"Kalau kita hanya bicara ekonomi moneter, obatnya cukup Aspirin. Tapi
kalau institutional disease, sudah perlu antibiotika. Dan saya yakin
bisa diatasi dengan antibiotika, tidak perlu sampai diamputasi, karena masih
ada kesempatan untuk segera bertindak. Namun, paket untuk mengatasi disease
itu harus dilakukan tanpa pandang bulu dan tak boleh ada intervensi." (Kompas,
11/1/1998).
Sumber: http://www.indomedia.com/intisari/2000/juli/sumitro7.htm
|